Elias Hj Idris
Kaum Wahabi

Sekte atau firqoh adalah suatu kaum yang mengikuti pemahaman seorang ulama yang pemahamannya telah terkeluar (kharaja) daripada pemahaman majoriti kaum muslim atau telah terkeluar daripada pemahaman jumhur ulama sehingga mereka termasuk ke dalam kaum khawarij. Khawarij adalah bentuk jamak (plural) daripada kharij (bentuk isim fail) ertinya 'yang keluar'.
 

Nahdatul Ulama, Muhammadiyah, Ikhwanul Muslim tidak termasuk firqoh atau sekte. Ia merupakan jema'ah minal-muslim atau kelompok atau organisasi kaum muslim.

Salah satu contoh firqoh adalah Wahbiyyah yakni kaum yang mengikuti pemahaman ulama Abdullah bin Wahbi Ar-Rasibi (38 H) dan salah satu pecahannya adalah mengikuti pemahaman ulama Abdul Wahhab bin Abdirrahman bin Rustum dan dinamakan sekte atau firqoh Wahbiyyah Rustumiyyah. Selengkapnya telah diuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/05/06/dongeng-rustumiyyah/

Sedangkan firqoh lainnya yang namanya hampir mirip namun lahir pada abad 12 Hijriah adalah firqoh Wahhabi atau disebut juga Salafi Wahhabi, yakni kaum yang mengikuti pemahaman ulama Muhammad bin Abdul Wahhab (Lahir 1115 H, wafat 1206 H). Ia dinisbatkan kepada nama ayahnya untuk sekadar membezakan dengan kaum muslim pada umumnya yang mengikuti apa yang disampaikan oleh lisan Sayyidina Nabi Muhammad bin Abdullah.
 

Firqoh itu terbentuk atas pemaksaan penguasa kerajaan dinasti Saudi untuk mengikuti pemahaman Muhammad bin Abdul Wahhab. Malah kerajaan dinasti Saudi pun didirikan atas kolaborasi antara penguasa Muhammad bin Sa’ud dan ulama Muhammad bin Abdul Wahhab.

Berikut kutipan perkenalan dari kedutaan besar Saudi Arabia, http://www.saudiembassy.net/about/country-information/Islam/saudi_arabia_Islam_heartland.aspx

“In the 18th century, a religious scholar of the central Najd, Muhammad bin Abdul Wahhab, joined forces with Muhammad bin Saud, the ruler of the town of Diriyah, to bring the Najd and the rest of Arabia back to the original and undefiled form of Islam”.

Ulama Muhammad bin Abdul Wahab memerlukan seorang penguasa untuk menolong penyiaran fahamannya yang baru dan Muhammad bin Sa’ud pula memerlukan seorang ulama yang dapat mengisi rakyatnya dengan ideologi yang keras, demi untuk memperkokoh pemerintahan dan kekuasaannya.

Ulama kalangan mereka sendiri Abdul Aziz bin Abdillah bin Bazz ketika mentashhihkan kitab biografi Ulama Muhammad ibnu Abdul Wahhab karya Syaikh Ahmad ibn Hajar al- Butami yang menyampaikan bahwa Wahhabi adalah pengikut ulama Muhammad bin Abdul Wahhab
 

- Di halaman 59 disebutkan : ﻓﻘﺎﻣﺖ ﺍﻟﺜﻮﺭﺍﺕ ﻋﻠﻰ ﻳﺪ ﺩﻋﺎﺓ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﻴﻦ “ maka tegaklah revolusi di atas tangan para da’i Wahhabi”.
- Di halaman 60 disebutkan : ﻋﻠﻰ ﺃﺳﺎﺱ ﻣﻦ ﺍﻟﺪﻋﻮﺓ ﺍﻟﺪﻳﻨﻴﺔ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻴﺔ ﻓﻲ ﻣﻜﺔ “ atas dasar dari dakwah agama Wahhabi di Mekah” , ﻳﺪﻳﻨﻮﻥ ﺑﺎﻹﺳﻼﻡ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻤﺬﻫﺐ ﺍﻟﻮﻫﺎﺑﻲ , “ mereka beragama dengan Islam atas Mazhab Wahhabi”.

Begitu pula dengan apa yang disampaikan oleh ulama abad 12 H yang hidup semasa dengan ulama Muhammad bin Abdul Wahhab.

Ulama mazhab Hanafi, al-Imam Muhammad Amin Afandi yang popular dengan sebutan Ibn Abidin, juga berkata dalam kitabnya, Hasyiyah Radd al-Muhtar sebagai berikut: “Keterangan tentang pengikut Muhammad bin Abdul Wahhab, kaum Khawarij pada masa kita. Sebagaimana terjadi pada masa kita, pada pengikut Ibn Abdil Wahhab yang keluar dari Najd dan berupaya keras menguasai dua tanah suci. Mereka mengikuti mazhab Hanabilah. Akan tetapi mereka meyakini bahawa mereka saja kaum uslimin, sedangkan orang yang berbeza dengan keyakinan mereka adalah orang-orang musyrik. Dan oleh sebab itu mereka menghalalkan membunuh Ahlus-sunnah dan para ulamanya sampai akhirnya Allah memecah kekuatan mereka, merosakkan negeri mereka dan dikuasai oleh tentera kaum muslimin pada tahun 1233 H.” (Ibn Abidin, Hasyiyah Radd al-Muhtar ‘ala al-Durr al-Mukhtar, juz 4, hal. 262).

Ulama mazhab al-Maliki, al-Imam Ahmad bin Muhammad al-Shawi al-Maliki, ulama terkemuka abad 12 Hijriah dan semasa dengan pengasas Wahhabi, berkata dalam Hasyiyah ‘ala Tafsir al-Jalalain sebagai berikut: “Ayat ini turun mengenai orang-orang Khawarij, iaitu mereka yang mendistorsi penafsiran al-Qur’an dan Sunnah, dan oleh sebab itu mereka menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin sebagaimana yang terjadi dewasa ini pada golongan mereka, iaitu kelompok di negeri Hijaz yang disebut dengan aliran Wahhabiah, mereka menyangka bahawa mereka akan memperoleh sesuatu (manfaat), padahal merekalah pendusta.” (Hasyiyah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalain, juz 3, hal. 307).

Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab mengaku mengikuti pemahaman ulama Ibnu Taimiyyah namun tentu beliau tidak bertemu muka atau bertalaqqi (mengaji) dengan ulama Ibnu Taimiyyah kerana jarak masa kehidupannya 350 tahun lebih. Sehingga pada hakikatnya beliau mengikuti pemahaman Ibnu Taimiyyah bersandarkan dengan muthola’ah, iaitu mentelaah kitab Ibnu Taimiyyah dengan akal fikirannya sendiri.

Ulama Muhammad bin Abdul Wahhab diketahui tidak mahu mempelajari kitab fiqih yang ditulis oleh Imam mazhab yang empat sebagaimana maklumat yang disampaikan oleh ulama mazhab Hanbali, al-Imam Muhammad bin Abdullah bin Humaid al-Najdi berkata dalam kitabnya al-Suhub al-Wabilah ‘ala Dharaih al-Hanabilah ketika menulis biografi Syaikh Abdul Wahhab, ayah pendiri Wahhabi, sebagai berikut:
“Abdul Wahhab bin Sulaiman al-Tamimi al-Najdi, adalah ayah pembawa dakwah Wahhabiah, yang percikan apinya telah tersebar di berbagai penjuru. Akan tetapi antara keduanya terdapat perbezaan. Padahal Muhammad (pendiri Wahhabi) tidak terang-terangan berdakwah kecuali setelah meninggalnya sang ayah. Sebahagian ulama yang aku jumpai memberitahu, dari orang yang semasa dengan Syaikh Abdul Wahhab ini, bahawa beliau sangat murka akan anaknya, kerana dia tidak suka belajar ilmu fiqih seperti para pendahulu dan orang-orang di daerahnya. Sang ayah selalu berfirasat tidak baik tentang anaknya pada masa yang akan datang. Beliau selalu berkata kepada masyarakat, “Hati-hati, kalian akan menemukan keburukan dari Muhammad.” Sampai akhirnya takdir Allah benar-benar terjadi.”

Padahal Allah ta’ala berfirman yang ertinya, “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah redha kepada mereka dan merekapun redha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka syurga-syurga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar“. (QS at Taubah [9]:100)

Dari firmanNya tersebut dapat kita ketahui bahwa orang-orang yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh.

Sedangkan orang-orang yang mengikuti Salafush Sholeh yang paling awal dan utama adalah imam mazhab yang empat kerana imam mazhab yang empat ini ada bertemu dan bertalaqqi (mengaji) dengan Salafush Sholeh sehingga Imam Mazhab yang empat mendapatkan pemahaman Salafush Sholeh dari lisannya langsung dan Imam Mazhab yang empat melihat langsung cara beribadah atau manhaj Salafush Sholeh.

Jadi kaum muslim mengikuti Salafush Sholeh dengan cara bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama yang soleh yang mengikuti imam mazhab yang empat yakni para ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari imam mazhab yang empat atau yang memiliki ketersambungan sanad ilmu atau sanad guru dengan imam mazhab yang empat.

Sekte Wahabi adalah korban hasutan atau korban ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum zionis Yahudi. Salah satu slogan hasutan atau slogan ghazwul fikir (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum zionis Yahudi adalah "mengamalkan Al Qur'an dan Sunnah berdasarkan pemahaman para Salafush Sholeh"
Tentu pada zaman sekarang kaum muslim tidak bertemu dengan para Salafush Sholeh untuk mendapatkan pemahaman para Salafush Sholeh.

Yang disebut sebagai "pemahaman Salafush Sholeh" adalah ketika mereka membaca hadits, tentunya ada sanad yang tersusun dari Tabi’ut Tabi’in , Tabi’in dan Sahabat. Inilah yang mereka katakan bahwa mereka telah mengetahui pemahaman para Salafush Sholeh. Bukankah itu pemahaman mereka sendiri terhadap hadits tersebut.


Mereka berijtihad dengan pendapatnya terhadap hadits tersebut. Apa yang mereka katakan pada hakikatnya adalah hasil ijtihad dan ra’yu mereka sendiri. Sumbernya memang daripada hadits tersebut, tetapi apa yang mereka sampaikan semata-mata lahir daripada kepala hotak mereka sendiri. Sayangnya mereka mengatakan kepada orang banyak bahawa apa yang mereka sampaikan adalah daripada pemahaman Salafush Sholeh!

Tidak ada yang dapat menjamin hasil upaya ijtihad mereka pasti benar dan terlebih lagi mereka tidak dikira layak sebagai imam mujtahid yang mutlak. Apapun hasil ijtihad mereka, benar atau salah mereka tetap letakkan atas nama Salafush Sholeh. Jika hasil ijtihad mereka itu salah, maka  inilah yang namanya fitnah terhadap Salafush Sholeh. Inilah yang dinamakan fitnah dari Najd, fitnah dari orang-orang yang serupa dengan Dzul Khuwaishirah at-Tamimi al-Najdi

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: "Dari kelompok orang ini (Dzul Khuwaishirah at Tamimi al Najdi), akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an, tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka. Bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum ‘Ad.
(HR Muslim 1762)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: "Akan muncul suatu kaum dari umatku yang pandai membaca Al Qur`an. Di mana bacaan kalian tidak ada apa-apa dibandingkan dengan bacaan mereka. Demikian pula solat kalian daripada solat mereka. Juga puasa mereka dibandingkan dengan puasa kalian. Mereka membaca Al Qur`an dan mereka menyangka bahwa Al Qur`an itu adalah (hujjah) bagi mereka, namun ternyata Al Qur`an itu adalah (bencana) atas mereka. Solat mereka tidak sampai melewati batas tenggorok. Mereka keluar dari Islam sebagaimana anak panah meluncur dari busurnya. (HR Muslim 1773)

Mereka bertindak mengada-adakan di dalam agama. Dalam hadits lain disebut mereka yang mengada-ada di dalam "urusan kami" ertinya mereka mengada-ada di dalam urusan yang merupakan hak Allah Ta’ala menetapkannya yakni melarang sesuatu yang tidak dilarangNya, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkanNya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkanNya.

Dari Ibnu ‘Abbas r.a. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya di masa kemudian akan ada peperangan di antara orang-orang yang beriman.” Seorang Sahabat bertanya: “Mengapa kita (orang-orang yang beriman) memerangi orang yang beriman, yang mereka itu sama berkata: ‘Kami telah beriman’.” Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Ya, kerana mengada-adakan di dalam agama (mengada-ada dalam perkara yang merupakan hak Allah Ta’ala menetapkannya yakni perkara kewajiban, larangan dan pengharaman) , apabila mereka mengerjakan agama dengan pemahaman berdasarkan akal fikiran, padahal di dalam agama itu tidak ada pemahaman sedemikian, sesungguhnya agama itu dari Tuhan, perintah-Nya dan larangan-Nya.” (Hadits riwayat Ath-Thabarani)

Mereka mengerjakan agama dengan pemahaman berdasarkan akal pikiran mereka sendiri atau berdasarkan hasil ijtihad mereka sendiri.

Sumber mereka dari ulama bangsa arab yang hanya mengetahui bahasa Arab, berdasarkan makna zahir atau terjemahannya saja atau hanya dari sudut erti bahasa (lughah) dan istilah (terminologi). Oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasalam diistilahkan dengan "mereka pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka."

Mereka tidak memperhatikan ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa Arab itu seumpama nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’). Mereka tidak juga memperhatikan sifat lafaz-lafaz dalam al-Quran dan as-Sunnah itu yang beraneka ragam seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat dan lain lainnya.

Jadi sumber fitnah adalah dari ulama Arab sendiri yang hanya mampu berbahasa Arab !

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Al Walid bin Muslim telah menceritakan kepada kami Ibnu Jabir telah menceritakan kepadaku Busr bin Ubaidullah Al Khadrami, ia mendengar Abu Idris al-Khaulani, ia mendengar Khudzaifah Ibnul Yaman
Aku bertanya, ‘Ya Rasulullah, tolong beritahukanlah kami tentang ciri-ciri mereka!
Nabi menjawab; Mereka adalah seperti kulit kita ini, juga berbicara dengan bahasa kita.
Saya bertanya ‘Lantas apa yang anda perintahkan kepada kami ketika kami menemui hari-hari seperti itu?
Nabi menjawab; 'Hendaklah kamu selalu bersama jemaah muslimin dan imam mereka!'
Aku bertanya; kalau tidak ada jemaah muslimin dan imam bagaimana?
Nabi menjawab; 'Hendaklah kau jauhi seluruh firqah (kelompok-kelompok / sekte) itu, sekalipun kau gigit akar-akar pohon hingga kematian merenggutmu kamu harus tetap seperti itu. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)

Berkata Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahawa mereka adalah bangsa Arab”.

Sebagaimana sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di atas maka kita seharusnya menghindari sekte atau firqah tersebut.

Dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahawa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada ahli jema’ah kerana Allah tidak akan mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahawa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah-belah menjadi berkelompok maka janganlah mengikuti salah satu firqoh/sekte. Hindarilah semua firqoh/sekte itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.

Rasulullah bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (majoriti jema’ah muslimin atau pemahaman jumhur ulama).” (HR. Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahawa jama’ah adalah as-sawad al a’zham”.

Akibat hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum zionis Yahudi, selain mereka terjerumus menjadi ahli bid’ah yakni melarang sesuatu yang tidak dilarang-Nya, mengharamkan sesuatu yang tidak diharamkan-Nya, mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan-Nya, mereka terjerumus pula ke dalam kekufuran beri’tiqod.

Contohnya dapat saksikan video pada http://www.youtube.com/watch?v=CaT4wldRLF0 mulai pada menit ke 03 detik 15, i’tiqod mereka bahawa Allah Ta’ala punya tangan dan mereka tambahkan bahawa tangan Allah Ta’ala tidak serupa dengan tangan makhluk. Berikut transkriptnya,

“Ya sudah kalau kita apa, misalkan tangan Allah, ya sudah itu tangan Allah.
Allah punya tangan akan tetapi apakah tangan Allah seperti tangan makhluk? Tidak.
Sedangkan sama-sama makhluknya Allah subhanahu wa ta’ala, kaki gajah dengan kaki semut tidak sama. Sama-sama kaki namanya. Kaki meja dengan kaki kamera ini yang untuk tahan sandaran ini, pun tidak sama.
Apa lagi tangan Allah subhanahu wa ta’ala dengan tangan makhluknya pun tidak sama kerana Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman “Laisa kamitslihi syai’un wahuwa samii’u bashiir” tidak ada yang sama dengan Allah subhanahu wa ta’ala, apa pun di dunia ini, ada pun kalau sama namanya tidak sama bentuknya dan rupa.”


Contoh lainnya dapat kita ketahui dari http://moslemsunnah.wordpress.com/2010/03/29/benarkah-kedua-tangan-allah-azza-wa-jalla-adalah-kanan/ Kesimpulan atau i’tiqod mereka tertulis pada baris terakhir dalam tulisan mereka yakni, “Allah mempunyai kedua tangan dan kedua tangan Allah adalah kanan“

Terjerumusnya mereka ke dalam kekufuran i’tiqod disebabkan mereka memahami ayat-ayat mutasyabihat tentang sifat dengan makna zahir atau terjemahannya sahaja atau hanya dari sudut erti bahasa (lughoh) dan istilah (terminologi) sahaja . Oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasalam diistilahkan dengan, "mereka pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka."

Para ulama terdahulu yang soleh telah memberikan batasan kepada kita untuk tidak memahami ayat mutasyabihat dengan makna zahir.

Imam Ahmad ar-Rifa’i (W. 578 H/1182 M) dalam kitabnya al-Burhan al-Muayyad, “Sunu ‘Aqaidakum Minat Tamassuki Bi Dzahiri Ma Tasyabaha Minal Kitabi Was Sunnati Lianna Dzalika Min Ushulil Kufri”, “Jagalah aqidahmu daripada berpegang dengan zahir ayat dan hadis mutasyabihat, kerana hal itu salah satu pangkal kekufuran”.

Imam besar ahli hadis dan tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi dalam “Tanbiat Al-Ghabiy Bi Tabriat Ibn ‘Arabi” mengatakan “Ia (ayat-ayat mutasyabihat) memiliki makna-makna khusus yang berbeza dengan makna yang difahami oleh orang biasa. Barang siapa memahami kata wajah Allah, yad , ain dan istiwa sebagaimana makna yang selama ini diketahui (wajah Allah, tangan, mata, bertempat), ia kafir (kufur dalam i’tiqod) secara pasti.”

Bahkan Imam Sayyidina Ali r.a mengatakan bahawa mereka yang mensifati Allah Ta’ala dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan adalah mereka yang mengingkari Allah Azza wa Jalla.

Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra berkata: “Sebahagian golongan dari umat Islam ini ketika kiamat telah dekat akan kembali menjadi orang-orang kafir”.
 

Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Amirul Mukminin apakah sebab kekufuran mereka? Adakah karena membuat ajaran baru atau karena pengingkaran?”
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib ra menjawab : “Mereka menjadi kafir karena pengingkaran. Mereka mengingkari Pencipta mereka (Allah Subhanahu wa ta’ala) dan mensifati-Nya dengan sifat-sifat benda dan anggota-anggota badan.”

Dalam kitab ilmu tauhid berjudul “Hasyiyah ad-Dasuqi ‘ala Ummil Barahin” karya Syaikh Al-Akhthal dapat kita ketahui bahwa;
- Barangsiapa mengi’tiqodkan (meyakinkan) bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) sebagaimana tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya “Kafir (orang yang kufur dalam i’tiqod)
- Barangsiapa mengi’tiqadkan (meyakinkan) bahawa Allah Subhanahu wa Ta’ala mempunyai tangan (jisim) namun tidak serupa dengan tangan makhluk (jisim-jisim lainnya), maka orang tersebut hukumnya ‘Aashin atau orang yang telah berbuat durhaka kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
- I’tiqad yang benar adalah i’tiqad yang menyatakan bahawa sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala itu bukanlah seperti jisim (bentuk suatu makhluk) dan bukan pula berupa sifat. Tidak ada yang dapat mengetahui zat Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Dia.

Ulama Ibnu Taimiyyah yang menjadi ikutan bagi ulama Muhammad bin Abdul Wahhab, semula bertalaqqi (mengaji) dengan para ulama bermazhab dengan Imam Ahmad bin Hambal namun pada akhirnya ulama Ibnu Taimiyyah lebih bersandar kepada upaya pemahamannya sendiri melalui muthola’ah, mentelaah kitab dengan akal fikirannya sendiri. Akibat kesalahpahamannya beliau pun terjerumus ke dalam kekufuran dalam i’tiqod sebagaimana yang telah dihuraikan dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2011/07/28/semula-bermazhab-hambali/ dan http://mutiarazuhud.files.wordpress.com/2010/02/ahlussunnahbantahtaimiyah.pdf

Bahkan disebab oleh kesalahpahamannya dalam i’tiqod mengakibatkan ulama Ibnu Taimiyyah wafat di penjara sebagaimana dapat diketahui dalam tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/04/13/ke-langit-dunia atau huraian dalam tulisan pada http://ibnu-alkatibiy.blogspot.com/2011/12/kisah-taubatnya-ibnu-taimiyah-di-tangan.html



Sumber artikel: Ustaz Zon di Jonggol, Kab Bogor 16830
0 Responses