Membongkar kesesatan Wahhabi yang mengatakan bahawa kalam Zat Allah swt berupa huruf, suara dan bahasa (Makna al-Quran kalam Allah)
Dalam pemahaman Ulama kita; ulama Ahlussunnah ketika dikatakan: "al-Qur'an Kalam Allah", maka dalam pemaknaannya terdapat dua pengertian;
Pertama: Al-Qur'an dalam pengertian lafazh-lafazh yang diturunkan (al-Lafzh al-Munazzal), yang ditulis dengan tinta di antara lembaran-lembaran kertas (al-Maktub Bain al-Masha-hif), yang dibaca dengan lisan (al-Maqru' Bi al-Lisan), dan dihafalkan di dalam hati (al-Mahfuzh Fi ash-Shudur). Al-Qur'an dalam pengertian ini maka tentunya ia berupa bahasa Arab, tersusun dari huruf-huruf, serta berupa suara saat dibaca.
Kedua: Al-Qur'an dalam pengertian Kalam Allah ad-Dzati. Ertinya dalam pengertian salah satu sifat Allah yang wajib kita yakini, iaitu sifat al-Kalam. Sifat Kalam Allah ini, sebagaimana seluruh sifat-sifat Allah yang lain tidak menyerupai makhluk-Nya. Sifat Kalam Allah tanpa permulaan dan tanpa penghabisan, serta tidak menyerupai sifat kalam yang ada pada makhluk. Sifat kalam pada makhluk berupa huruf-huruf, suara dan bahasa. Adapun Kalam Allah bukan huruf, bukan suara dan bukan bahasa.
Al-Qur'an dalam pengertian pertama (al-Lafzh al-Munazzal) maka ia adalah makhluk. Dan al-Qur'an dalam pengertian yang kedua (al-Kalam adz-Dzati) maka jelas ia bukan makhluk. Namun demikian, al-Qur'an baik dalam pengertian pertama mahupun dalam pengertian kedua tetap disebut "Kalam Allah". Kita tidak boleh mengatakan secara mutlak; "al-Qur'an makhluk", sebab pengertian al-Qur'an ada dua; dalam pengertian al-Lafzh al-Munazzal dan dalam pengertian al-Kalam adz-Dzati, sebagaimana di atas.
Al-Qur'an dalam pengertian pertama adalah sebagai ungkapan dari sifat Kalam Allah adz-Dzati. Maka al-Qur'an yang berupa kitab yang kita baca dan kita hafalkan, tersusun daripada huruf-huruf, dan dalam bentuk bahasa Arab, bukan sebagai Kalam Allah adz-Dzati (sifat Kalam Allah), melainkan kitab tersebut adalah ungkapan ('Ibarah) dari Kalam Allah adz-Dzati yang bukan suara, bukan huruf-huruf, dan bukan bahasa. Sebagai pendekatan, apabila kita menulis lafazh "Allah" di papan tulis, maka hal itu bukan bererti bahawa "Allah" yang berupa tulisan itu Tuhan yang kita sembah. Melainkan lafaz atau tulisan "Allah" tersebut hanya sebagai ungkapan ('Ibarah) bagi adanya Tuhan yang wajib kita sembah, yang bernama "Allah". Demikian pula dengan "al-Qur'an", ia disebut "Kalam Allah" bukan dalam pengertian bahawa itulah sifat Kalam Allah; berupa huruf-huruf, dan dalam bahasa Arab. Tetapi al-Qur'an yang dalam bentuk huruf-huruf dan dalam bentuk bahasa Arab tersebut adalah sebagai ungkapan dari sifat Kalam Allah adz-Dzati.
Dengan demikian harus dibezakan antara al-Lafzh al-Munazzal dan al-Kalam adz-Dzati. Sebab apabila tidak dibezakan antara dua perkara ini, maka setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur'an akan mendapatkan gelar "Kalimullah" sebagaimana Nabi Musa yang telah mendapat gelar "Kalimullah". Tentu hal ini menjadi rancu dan tidak dapat diterima. Pada hal, Nabi Musa mendapat gelar "Kalimullah" adalah kerana beliau pernah mendengar al-Kalam adz-Dzati yang bukan berupa huruf, bukan suara dan bukan bahasa. Dan seandainya setiap orang yang mendengar bacaan al-Qur'an mendapat gelar "Kalimullah" seperti gelar Nabi Musa, maka bererti tidak ada keistimewaan sama sekali bagi Nabi Musa yang telah mendapatkan gelar "Kalimullah" tersebut.
Dalam al-Qur'an Allah berfirman: "Dan apa bila seseorang dari orang-orang musyrik meminta perlidungan darimu (wahai Muhammad) maka lindungilah ia hingga ia mendengar Kalam Allah". (QS. at-Taubah: 6).
Dalam ayat ini Allah memerintahkan Nabi Muhammad untuk memberikan perlidungan kepada seorang kafir musyrik yang diburu oleh kaumnya, jika memang orang musyrik ini meminta perlindungan daripadanya. Ertinya, orang musyrik ini diberi keamanan untuk hidup di kalangan orang-orang Islam hingga dia mendengar Kalam Allah. Setelah orang musyrik tersebut diberi keamanan dan mendengar Kalam Allah, namun ternyata dia tidak mau masuk Islam, maka dia dikembalikan ke wilayah tempat tinggalnya. Dalam ayat ini, yang dimaksud bahawa orang musyrik tersebut "mendengar Kalam Allah" adalah mendengar bacaan kitab al-Qur'an yang berupa lafaz-lafaz dalam bentuk bahasa Arab (al-Lafzh al-Munazzal), bukan dalam pengertian mendengar al-Kalam adz-Dzati. Sebab jika yang dimaksud mendengar al-Kalam adz-Dzati maka bererti sama saja antara orang musyrik tersebut dengan Nabi Musa yang telah mendapatkan gelar "Kalimullah". Dan bila demikian halnya maka bererti orang musyrik tersebut juga mendapatkan gelar "Kalimullah", persis seperti Nabi Musa. Tentunya hal ini tidak bisa dibenarkan.
Di antara dalil lainnya yang menguatkan bahawa al-Kalam adz-Dzati bukan berupa huruf-huruf, bukan suara, dan bukan bahasa adalah firman Allah: "... dan Dia Allah yang menghisab paling cepat". (QS. al-An'am: 62).
Pada hari kiamat kelak, Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dari bangsa manusia dan jin. Allah akan memperdengarkan Kalam-Nya kepada setiap orang dari mereka. Dan mereka akan memahami dari kalam Allah tersebut pertanyaan-pertanyaan tentang segala apa yang telah mereka kerjakan, segala apa yang mereka katakan, dan segala apa yang mereka yakini ketika mereka hidup di dunia. Rasulullah bersabda: "Setiap orang akan Allah perdengarkan Kalam-Nya kepadanya (menghisabnya) pada hari kiamat, tidak ada penterjemah antara dia dengan Allah". (HR. al-Bukhari)
Kelak di hari kiamat Allah akan menghisab seluruh hamba-Nya dalam waktu yang sangat singkat. Seandainya Allah menghisab mereka dengan suara, susunan huruf, dan dengan bahasa maka Allah akan memerlukan waktu beratus-ratus ribu tahun untuk menyelesaikan hisab tersebut, kerana makhluk Allah tersangat banyak. Termasuk di antara bangsa manusia adalah kaum Ya'-juj dan Ma'-juj, diriwayatkan dalam beberapa hadis bahawa mereka termasuk bangsa manusia dari keturunan Nabi Adam a.s.
Dalam hadis riwayat al-Bukhari disebutkan bahawa kaum terbesar yang kelak menghuni neraka adalah kaum Ya'-juj dan Ma'-juj ini. Tentang jumlah mereka disebutkan dalam hadis riwayat Ibn Hibban dan an-Nasa-i bahawa setiap orang dari mereka tidak akan mati kecuali setelah beranak-pinak hingga keturunannya yang ke seribu (Lihat Ibn Hibban dalam al-Ihsan Bi Tartib Shahih Ibn Hibban, j. 1, h. 192, dan al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra; Kitab at-Tafsir; Tafsir Surah al-Anbiya'). Ertinya, jumlah mereka jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah seluruh manusia yang bukan daripada kaum Ya'-juj dan Ma'-juj.
Mereka semua hidup di tempat yang diketahui oleh Allah swt dari bumi ini, dan antara kita dengan mereka dipisahkan oleh semacam "tembok besar" (as-sadd) yang dibangun oleh Dzul Qarnain dahulu (lebih lengkap lihat al-Kawkab al-Ajuj Fi Ahkam al-Mala-ikat Wa al-Jinn Wa asy-Syathin Wa Ya'-juj Wa Ma'-juj dalam Majmu'ah Sab'ah Kutub Mufidah karya as-Sayyid Alawi ibn Ahmad as-Saqqaf). Kemudian lagi bangsa jin yang sebahagian daripada mereka hidup hingga ribuan tahun, bahkan manusia sendiri sebelum umat Nabi Muhammad, ada yang mencapai umurnya hingga 2,000 tahun, ada yang berumur hingga 1,000 tahun, dan ada pula yang hanya 100 tahun.
Kelak mereka semua akan dihisab dalam berbagai perkara menyangkut kehidupan mereka di dunia, tidak hanya dalam urusan perkataan atau ucapan sahaja, tetapi juga menyangkut segala perbuatan dan keyakinan mereka. Seandainya Kalam Allah berupa suara, huruf, dan bahasa maka dalam menghisab semua makhluk tersebut Allah pasti memerlukan kepada waktu yang tersangat panjang. Dek kerana dalam penggunaan huruf-huruf dan bahasa jelas memerlukan kepada waktu. Huruf berganti huruf, kemudian kata menyusul kata, dan demikian seterusnya. Dan apabila demikian maka maka bererti Allah bukan sebagai Asra' al-Hasibin (Penghisab yang paling cepat), tetapi sebaliknya; Abtha' al-Hasibin (Penghisab yang paling lambat). Tentunya hal ini mustahil bagi Allah swt.
Al-Imam al-Mutakallim Ibn al-Mu'allim al-Qurasyi dalam kitab Najm al-Muhtadi Wa Rajm al-Mu'tadi menuliskan sebagai berikut:"Asy-Syaikh al-Imam Abu Ali al-Hasan ibn Atha' pada tahun 481 H ketika ditanya satu permasalahan berkata: Sesungguhnya huruf-huruf itu dalam penggunaannya saling mendahuli satu atas lainnya. Pergantian saling mandahuli antara huruf seperti ini tidak dapat diterima oleh akal jika terjadi pada Allah yang maha Qadim. Sebab pengertian bahwa Allah maha Qadim adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan, sementara pergantian huruf-huruf dan suara adalah sesuatu yang baharu (hadis) yang memiliki permulaan; tidak Qadim. Kemudian seluruh sifat-sifat Allah itu Qadim; tanpa permulaan, termasuk sifat Kalam-Nya.
Seandainya Kalam Allah tersebut berupa huruf-huruf dan suara maka bererti pada kalam-Nya tersebut terjadi pergantian antara satu huruf dengan lainnya, antara satu suara dengan suara lainnya, dan bila demikian maka Dia akan disebukan oleh perkara tersebut. Padahal Allah tidak disibukan oleh satu perkara atas perkara yang lain. Di hari kiamat Allah akan menghisab seluruh makhluk dalam hanya sesaat sahaja. Ertinya, dalam waktu yang sangat singkat seluruh makhluk-makhluk tersebut akan memahami Kalam Allah dalam menghisab mereka. Seandainya Kalam Allah berupa huruf dan bahasa maka bererti sebelum selesai menghisab: "Wahai Ibrahim..."; Allah tidak mampu untuk menghisab: "Wahai Muhammad...". Bila kejadian hisab seluruh makhluk seperti ini maka seluruh makhluk tersebut akan terkurung dalam waktu yang sangat panjang menunggu selesai hisab satu orang demi satu orang. Tentunya perkara ini adalah mustahil bagi Allah".
Makna Firman Allah: "Kun Fayakun" (QS. Yasin: 82)
Dalam al-Qur'an Allah berfirman: "Inama Amruhu Idza Arada Sya'ian An Yaqula Lahu Kun Fayakun" (QS. Yasin: 82). Makna ayat ini bukan bererti bahawa setiap Allah berkehendak menciptakan sesuatu, maka Dia cuma berkata: "Kun", dengan huruf "Kaf" dan "Nun" yang ertinya "Jadilah...!". Seandainya setiap berkehendak menciptakan sesuatu Allah harus berkata "Kun", maka dalam setiap saat perbuatan-Nya tidak ada yang lain kecuali hanya berkata-kata: "kun, kun, kun...". Hal ini tentu mustahil atas Allah. Sesungguhnya dalam waktu yang sesaat sahaja bagi kita, Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu yang tidak terhitung jumlahnya. Deburan ombak di lautan, rontoknya dedaunan, tetesan air hujan, tumbuhnya tunas-tunas, kelahiran bayi manusia, kelahiran anak hewan dari induknya, letusan gunung, sakitnya manusia dan kematiannya, serta berbagai peristiwa lainnya, semua itu adalah hal-hal yang telah dikehendaki Allah swt dan merupakan ciptaan-Nya. Semua perkara tersebut bagi kita terjadi dalam hitungan yang sangat singkat, bisa terjadi secara beruntun bahkan bersamaan.
Adapun sifat perbuatan Allah sendiri (Shifat al-Fi'il) tidak terikat oleh waktu. Allah menciptakan segala sesuatu, sifat perbuatan-Nya atau sifat menciptakan-Nya tersebut tidak boleh dikatakan "di masa lampau", "di masa sekarang", atau "di masa mendatang". Sebab perbuatan Allah itu azali, tidak seperti perbuatan makhluk yang baharu. Perbuatan Allah tidak terikat oleh waktu, dan tidak dengan mempergunakan alat-alat. Benar, segala kejadian yang terjadi pada alam ini semuanya baharu, semuanya diciptakan oleh Allah, namun sifat perbuatan Allah atau sifat menciptakan Allah (Shifat al-Fi'il) tidak boleh dikatakan baharu.
Kemudian dari pada itu, kata "Kun" adalah bahasa Arab yang merupakan ciptaan Allah (al-Makhluk). Sedangkan Allah adalah Pencipta (Khaliq) bagi segala bahasa. Maka bagaimana mungkin Allah sebagai al-Khaliq memerlukan kepada ciptaan-Nya sendiri (al-Makhluq)! Seandainya Kalam Allah merupakan bahasa, tersusun dari huruf-huruf, dan merupakan suara, maka bererti sebelum Allah swt menciptakan bahasa Dia diam; tidak memiliki sifat Kalam, dan Allah baru memiliki sifat Kalam setelah Dia menciptakan bahasa-bahasa tersebut. Bila seperti ini maka berarti Allah baharu, persis seperti makhluk-Nya, dek kerana Dia berubah dari satu keadaan kepada keadaan yang lain. Tentu hal seperti ini mustahil atas Allah.
Dengan demikian makna yang benar dari ayat dalam QS. Yasin: 82 di atas adalah sebagai ungkapan bahawa Allah maha Kuasa untuk menciptakan segala sesuatu tanpa lelah, tanpa kesulitan, dan tanpa ada siapapun yang dapat menghalangi-Nya. Dengan kata lain, bahawa bagi Allah sangat mudah untuk menciptakan segala sesuatu yang Dia kehendaki, sesuatu tersebut dengan cepat akan terjadi, tanpa ada penundaan sedikitpun dari waktu yang Dia kehendakinya.
" AQIDAH : ALLAH SWT ADA TANPA BERTEMPAT "
Bagimana pak, yg bilang Baitullah di Makah tuh Rumah Allah..??
Bukankah itu terang2an sudah Syirik tempatkan Allah pd sesuatu..??