Elias Hj Idris
Kekalahan tentera Islam di Sepanyol apabila mereka terjebak ke dalam sindrom 'al-wahnu': mencintai dunia dan takut mati!

Secara umum, hukum asal dari jihad melawan orang-orang kafir adalah fardhu kifâyah. Makna fardhu kifayah yaitu apabila telah dikerjakan oleh jumlah yang cukup dari kaum muslimin, maka gugurlah dosa dari sebahagian yang lainnya. Demikian pendapat majoriti ulama.

Dalil yang menjelaskan bahwa hukum asal daripada jihad melawan orang-orang kafir adalah fardhu kifayah tertera dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,

“Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak turut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. An-Nisa` : 95)

Ayat ini menunjukkan bahawa orang-orang yang tidak berangkat pergi jihad dan tidak mempunyai uzur untuk tidak berangkat dianggap tidak berdosa karena telah ada sebahagian daripada kaum muslimim yang berjihad.

Dan Allah Ta’ala juga menjelaskan tentang hukum asal ini,

“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah : 122)

Jadi hukum asal dari jihad melawan orang-orang kafir adalah fardhu kifayah. Namun perlu diketahui bahawa hukum tersebut bukanlah hukum tetap kerana ia bisa berubah menjadi fardhu ‘ain dalam keadaan-keadaan tertentu.

Ada empat keadaan jihad melawan orang-orang kafir yang boleh bertukar menjadi fardhu ‘ain:

Pertama: Apabila imam/pimpinan kaum muslimin dalam sebuah negara memerintah secara umum kepada penduduknya untuk berjihad, maka wajib atas mereka seluruhnya untuk berangkat pergi berjihad bersamanya. Atau pemerintah menunjuk orang-orang tertentu untuk berangkat berjihad, maka wajib atas mereka yang telah ditentukan untuk berangkat.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kalian: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kalian merasa berat dan ingin tinggal di tempat kalian? Apakah kalian puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kalian tidak berangkat untuk berperang, nescaya Allah menyiksa kalian dengan siksa yang pedih dan digantinya (kalian) dengan kaum yang lain, dan kalian tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikit pun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. At-Taubah : 38-39)

Di ayat yang lain, Allah Jalla Jalaluhu menegaskan,

“Berangkatlah kamu baik dalam keadaan berasa ringan ataupun berasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan diri kamu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (QS. At-Taubah : 41)

Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda,
وَإِذَا اسْتُنْفِرْتُمْ فَانْفِرُوْا

“Apabila kalian diseru untuk berjihad maka berangkatlah kalian”. [1]

Imam yang dimaksudkan itu adalah pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negeri. Imam ini tidak disyaratkan sebagai imam umum bagi seluruh kaum muslimin dalam pengertian sebagai khalifah, bahkan hukum ini juga terarah bagi imam dalam pengertian sebagai pimpinan suatu negara. Imam umum bagi kaum muslimin telah tenggelam sejak beberapa masa yang lalu. Juga banyak hadis yang menunjukkan wajibnya taat pada pemerintah muslim datang dalam bentuk umum, tidak mengkhususkan imam dalam pengertian sebagai khalifah saja.[2]

Kedua: Apabila pasukan kaum muslimin telah berhadapan dengan pasukan kafir, maka diharamkan untuk mundur atau lari. Dalam hal ini jihad menjadi fardhu ‘ain atas setiap individu dalam pasukan kaum muslimin yang hadir di medan tersebut.

Allah Subhanahu wa Ta’ala menegaskan hal tersebut dalam firman-Nya,

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerang kalian, maka janganlah kalian membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasah) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. Al-Anfal : 15-16)

Ayat di atas menunjukkan haram melarikan diri atau mundur dari medan pertempuran, dan sesiapa yang melakukannya dikira telah menanggung dosa yang amat besar, kecuali kalau mundurnya tersebut dalam dua keadaan;

i). Berbelok untuk menyusun strategi pertempuran, seperti mundur dari tempat yang sempit ke tempat yang luas, atau kalau ada maslahat mundur dari tempat yang luas ke tempat sempit dan seterusnya.

ii). Hendak menggabungkan diri dengan pasukan lainnya, baik pasukan lain itu lebih banyak atau sedikit, dalam jarak jauh mahupun dekat.

Namun perlu diingat, bahawa penentuan mundur dalam dua keadaan ini ditentukan oleh pimpinan pasukan, bukan oleh orang per-orang.

Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan bahawa lari dari medan pertempuran adalah dosa besar,

إِجْتَنِبُوْا السَّبْعَ الْمُوْبِقَاتِ, قِيْلَ : يَا رسولَ اللهِ وَمَا هُنَّ؟ قَالَ : الشِّرْكُ بِاللهِ وَالسِّحْرُ وَقَتْلُ النَّفْسِ الَّتِي حَرَّمَ اللهُ إِلاَّ باِلْحَقِّ وَأَكْلُ الرِّبَا وَأَكْلُ مَالَ الْيَتِيْمِ وَالتَّوَلَّى يَوْمَ الزَّحْفِ وَقَذْفُ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاَتِ الْمُؤْمِنَاتِ

“Jauhilah tujuh (dosa) yang menghancurkan. Ditanyakan: “Apakah tujuh yang menghancurkan itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Menyekutukan Allah, membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah kecuali membunuh dengan haq, memakan riba, memakan harta anak yatim, lari pada hari pertempuran dan menuduh perempuan yang suci, yang menjaga dirinya lagi beriman (dengan perbuatan jelek).” [3]

Jadi dalam posisi seperti ini jihad menjadi fardhu ‘ain atas setiap individu pasukan kaum muslimin yang telah berhadapan dengan pasukan orang-orang kafir dalam suatu medan pertempuran, walaupun hukum jihad tersebut asalnya adalah cuma fardhu kifayah.

Mungkin dari keterangan di atas, akan muncul dalam benak para pembaca suatu pertanyaan, iaitu apabila pasukan musuh berlipat ganda jauh lebih besar daripada kaum muslimin, apakah tetap tidak boleh lari atau bagaimana?

Jawabannya sebagai berikut;

Kalau kita memperhatikan ayat dalam surat Al-Anfal ayat 15-16 yang telah tersebut di atas dan kita juga mencermati beberapa ayat lain dalam surah tersebut, maka daripada ayat-ayat tersebut akan tersimpul suatu hukum tetap dan pasti.

Perhatikan ayat 45 dari surah tersebut;

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kalian memerangi pasukan (musuh), maka berteguh hatilah kalian dan sebutlah (nama) Allah sebanyak-banyaknya agar kalian beruntung.” (QS. Al-Anfal : 45)

Nas di atas adalah pernyataan tegas akan wajibnya kaum muslimin bersabar menghadapi musuh dan tetap kukuh dengan penuh ketegaran dalam menghadapi lawan mereka betapa pun jumlah dan kekuatannya.

Kemudian keumuman ayat di atas dikhususkan lagi kandungan dalam suatu jumlah tertentu;

“Hai Nabi, kobarkanlah semangat kaum mukminin itu untuk berperang. Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kalian, nescaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kalian, mereka dapat mengalahkan seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak mengerti.” (QS. Al-Anfal : 65)

Kemudian jumlah tersebut diperkecil lagi dalam ayat setelahnya;

“Sekarang Allah telah meringankan kepada kalian dan Dia telah mengetahui bahawa pada kalian ada kelemahan. Maka jika ada di antara kalian seratus orang yang sabar, nescaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang; dan jika di antara kalian ada seribu orang (yang sabar), nescaya mereka dapat mengalahkan dua ribu orang dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfal : 66)

Turjumanul Qur`an, Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkomentar tentang dua ayat di atas;

 “Tatkala turun ayat “Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kalian, nescaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang musuh”, Allah Ta’ala mewajibkan atas dua puluh orang dari kaum muslimin untuk tidak lari menghadapi dua ratus orang musuh (1 : 10,-pent.).

Kemudian Allah menurunkan firman-Nya, “Sekarang Allah telah meringankan kepada kalian dan Dia telah mengetahui bahwa pada kalian ada kelemahan. Maka jika ada di antara kalian seratus orang yang sabar, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang”, Maka Allah meringankan beban mereka dan memerintah kepada seratus orang kaum mukminin untuk tidak lari menghapi dua ratus orang kafir (1 : 2, -pent.).” [4]

Jadi kalau perbandingan antara kaum muslimin dan musuh masih satu banding dua, maka diharamkan atas kaum muslimin untuk melarikan diri. Adapun kalau kaum muslimin dan musuh satu banding tiga atau lebih, maka Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata;
وَإِنْ فَرَّ رَجُلٌ مِنَ اثْنَيْنِ فَقَدْ فَرَّ, وَإِنْ فَرَّ مِنْ ثَلاَثَةٍ لَمْ يَفِرَّ

“Apabila seseorang lari lantaran menghadapi dua orang, maka dia tergolong orang yang lari dari medan pertempuran. Dan apabila dia lari kerana menghadapi tiga orang, maka dia tidak tergolong sebagai orang yang lari dari medan pertempuran.” [5]

Apa yang disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma ini walaupun secara zahir berbentuk mauqûf[6], akan tetapi ia mempunyai hukum marfû’[7] sebagaimana yang ditegaskan oleh Syaikh Al-Albany rahimahullah.[8]

Bertolak dari keterangan di atas, para ulama membolehkan melarikan diri apabila perbandingan kaum muslimin dan musuh satu banding tiga atau lebih. Namun dengan rincian sebagai berikut;

Apabila kaum muslimin memperkirakan mampu menghadapi musuh, maka diharuskan untuk tetap bersabar menghadapinya, dan tidak mematahkan semangat kaum muslimin. Apabila kaum muslimin memperkirakan akan hancur bila tidak melarikan diri, maka dibolehkan bagi mereka untuk melarikan diri, tapi bukan kewajiban atas mereka untuk melarikan diri. Ini menurut kesepakatan para ulama. [9]

Ketiga: Apabila musuh menyerang suatu negeri, maka wajib ‘ain atas setiap penduduk negeri tersebut menghadapinya dan membela diri.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam Majmû’ Al-Fatawa 28/358-359 mengatakan; “Apabila musuh hendak menyerang kaum muslimin, maka menghadang mereka adalah wajib atas orang-orang yang diserang langsung, dan juga wajib atas orang yang belum diserang untuk membantu saudara mereka, sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala,

“Jika (saudara-saudaramu) meminta pertolongan kepada kalian dalam (urusan pembelaan) agama, maka kalian wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kalian dengan mereka.” (QS. Al-Anfal : 72).”

Dan juga hal ini masuk dalam keumuman makna firman-Nya;

“Dan tolong-menolonglah kalian dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa.” (QS. Al-Ma`idah : 2)
Keempat: Apabila seseorang diperlukan dan tidak diperoleh orang yang mampu menjalankannya selainnya.

Ketentuan wajib ‘ain di sini dipetik dari kata fardhu kifayah yang ertinya apabila telah dikerjakan oleh jumlah yang cukup dari kaum muslimin, maka gugurlah dosa dari sebahagian yang lainnya. Ini menunjukkan bila kekuatan belum mencukupi, atau diperlukan sejumlah orang untuk melengkapi jihad tersebut, maka kewajiban masih berada di pundak kaum muslimin dan dosa belum digugurkan atas yang lainnya. [10]

[1] Hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Al-Bukhary no. 2783, 2825, 3077, 3189 dan Muslim 2/422-423, 3/348 no. 1353, Abu Daud no. 2480, At-Tirmidzy no. 1594, An-Nasa`i 7/145-146 dan Ibnu Majah no. 2773.

[2] Baca keterangan terperinci dari Imam Asy-Syaukany dalam jilid keempat dari kitab beliau, As-Sail Al-Jarrar.

[3] Hadits riwayat Al-Bukhary no. 2766, 5764, 6857, Muslim no. 89, Abu Daud no. 2874 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.

[4] Atsar ini diriwayatkan oleh Imam Asy-Syafi’iy dan Imam Al-Bukhary dengan maknanya. Lihat Irwa` Al-Ghalîl 5/29 karya Syaikh Al-Albany.

[5] Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi 9/76 dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albany dalamIrwa` Al-Ghalîl 5/28.

[6] Mauqûf adalah hadits yang disandarkan kepada shahabat radhiyallahu ‘anhum.

[7] Marfû’ adalah hadits yang disandarkan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.

[8] Dalam Irwa` Al-Ghalîl 5/29.

[9] Baca pembahasan di atas dalam Raudhah At-Thalibîn 10/247-249 karya An-Nawawy, Takmilatul Majmû’ 21/149-153, Fathul Bari 8/161-164 karya Ibnu Hajar,Tafsir Ibnu Katsîr 2/395, Nailul Authar 7/297 karya Asy-Syaukany, Al-Muhalla6/342-345 karya Ibnu Hazm dan lain-lainnya.

[10] Untuk pembahasan tentang uraian hukum jihad, bisa diperiksa dalam : Al-Mughni 13/6-8, Al-Kafî 4/25-254 karya Ibnu Qudamah, Al-Inshaf 4/ 117-118,Manarus Sabîl 1/268, Hasyiyah Ar-Raudhu AI-Murbi’ 4/256-257, As-Syarhul Mumti’ 8/9-14, Raudhatut Thalibîn 10/214-216, Bada`i’ush Shana`i’ 7/97-98, Al-Kafî karya Ibnu Abdil Bar hal. 205, Bidayatul Mujtahid 1 / 278, Taudhîh Al-Ahkam 5 / 357, 362-363, dan lain-lainnya.
0 Responses